Sektor pertanian Indonesia sedang menghadapi tantangan serius: krisis regenerasi. Data menunjukkan bahwa populasi petani didominasi oleh usia tua, sementara generasi muda, yang seharusnya menjadi penerus tongkat estafet, justru berbondong-bondong meninggalkan desa dan memilih berkarir di perkotaan. Fenomena migrasi petani muda ke kota ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap ketahanan pangan nasional di masa depan.
1. Faktor Pendorong (Push Factors): Mengapa Desa Ditinggalkan?
Keputusan seorang petani muda untuk bermigrasi bukanlah tanpa alasan. Ada serangkaian faktor pendorong (push factors) di pedesaan yang secara sistemik membuat profesi petani menjadi tidak menarik dan kurang menjanjikan.
A. Stigma Sosial dan Inferioritas Profesi
Di mata banyak generasi muda, pekerjaan sebagai petani masih dilekatkan dengan citra “kotor,” “berat,” dan “miskin.” Tingginya tingkat pendidikan di kalangan pemuda pedesaan seringkali membuat mereka merasa bahwa profesi petani tidak sejalan dengan capaian akademis mereka. Mereka menganggap pekerjaan di sektor non-pertanian di kota memiliki gengsi yang lebih tinggi dan lebih sesuai dengan harapan masyarakat modern.
B. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Pasti
Penghasilan dari usaha pertanian di pedesaan seringkali bersifat musiman dan penuh ketidakpastian. Risiko gagal panen akibat perubahan iklim, fluktuasi harga komoditas yang merugikan, dan panjangnya rantai pasok yang tidak efisien membuat margin keuntungan yang didapat petani muda sangat tipis, bahkan tidak sebanding dengan kerja keras yang dikeluarkan. Hal ini sangat kontras dengan gaji bulanan yang stabil di sektor industri atau jasa di perkotaan.
C. Keterbatasan Lahan dan Teknologi
Semakin menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan dan warisan yang dibagi-bagi membuat skala usaha menjadi tidak ekonomis. Selain itu, minimnya akses terhadap teknologi pertanian modern dan permodalan yang memadai memaksa petani muda tetap menggunakan metode konvensional yang padat tenaga kerja dan kurang efisien. Mereka merasa tertinggal jauh di belakang kemajuan industri.
D. Fasilitas dan Infrastruktur Desa
Kesenjangan fasilitas antara desa dan kota, terutama dalam hal akses pendidikan lanjutan, kesehatan, dan hiburan, menjadi daya dorong kuat bagi petani muda untuk mencari kehidupan yang lebih baik di perkotaan. Kurangnya sarana dan prasarana penunjang kehidupan modern di pedesaan membuat lingkungan tersebut terasa stagnan dan tidak menarik.
2. Faktor Penarik (Pull Factors): Daya Tarik Gemerlap Kota
Pada saat yang sama, kota menawarkan berbagai faktor penarik (pull factors) yang seolah menjanjikan solusi instan atas masalah di desa.
A. Peluang Kerja Sektor Non-Pertanian
Sektor industri, manufaktur, dan jasa di kota menawarkan lapangan pekerjaan yang lebih beragam, gaji yang lebih terjamin, dan jenjang karir yang lebih jelas. Pekerjaan ini seringkali tidak memerlukan keahlian khusus yang harus dimiliki seorang petani, dan yang terpenting, ia menawarkan pendapatan yang stabil.
B. Akses Pendidikan dan Pengembangan Diri
Kota menjadi pusat pendidikan tinggi dan pelatihan keterampilan. Petani muda melihat kesempatan untuk mengembangkan diri, memperoleh keahlian baru, dan meningkatkan kualitas hidup melalui akses pendidikan yang lebih baik.
C. Gaya Hidup dan Jaringan Sosial
Gaya hidup modern, fasilitas hiburan, dan jaringan sosial yang lebih luas dan dinamis di kota menjadi magnet kuat. Ini menarik petani muda yang ingin melepaskan diri dari keterbatasan sosial di pedesaan.
3. Dampak Nyata Migrasi: Ancaman Ketahanan Pangan
Migrasi petani muda ke kota bukanlah sekadar pergeseran demografi, melainkan ancaman serius bagi keberlanjutan pertanian di Indonesia.
- Penuaan Petani: Rata-rata usia petani terus meningkat, yang berdampak pada penurunan produktivitas dan berkurangnya inovasi.
- Stagnasi Teknologi: Kurangnya generasi muda yang melek teknologi menyebabkan adopsi inovasi di tingkat tapak menjadi lambat.
- Ancaman Produksi Pangan: Dengan menurunnya jumlah tenaga kerja produktif, kemampuan Indonesia untuk memproduksi pangannya sendiri terancam, yang berujung pada kerentanan ketahanan pangan.
Baca Juga: Penelitian Mahasiswa tentang Budidaya Buah Matoa untuk Optimalisasi Hasil Panen Maksimal
4. Peran Strategis Politeknik Pertanian Yasanto
Menghadapi krisis ini, lembaga pendidikan vokasi pertanian memiliki peran yang sangat penting sebagai game changer dan motor regenerasi petani. Politeknik Pertanian Yasanto (Politani Yasanto) hadir sebagai institusi yang berpotensi menjadi solusi.
A. Pencetak Agropreneur (Petani Milenial Modern)
Politani Yasanto tidak hanya mendidik mahasiswa menjadi pegawai, tetapi menjadi agropreneur yang memiliki jiwa wirausaha. Kurikulum vokasi yang diterapkan menekankan pada:
- Agribisnis: Membekali mahasiswa dengan ilmu manajemen, pemasaran, dan keuangan untuk mengelola usaha pertanian secara profesional.
- Teknologi Pertanian Presisi: Mengajarkan penggunaan drone, sensor, dan Internet of Things (IoT) untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi kesan kerja keras/kotor.
Lulusan Politani Yasanto diharapkan melihat pertanian bukan lagi sebagai mata pencaharian subsisten, melainkan sebagai bisnis yang menguntungkan dan berprospek cerah.
B. Jembatan Inovasi dan Diseminasi Teknologi
Politani Yasanto berperan sebagai pusat inovasi di tingkat regional. Melalui kegiatan penelitian terapan dan pengabdian kepada masyarakat, Politani harus secara aktif mengenalkan dan mendampingi komunitas petani lokal dalam mengadopsi teknologi baru. Ini secara langsung membantu meningkatkan produktivitas lahan milik petani di sekitar kampus dan mematahkan persepsi bahwa pertanian itu kuno.
C. Revitalisasi Citra Profesi Petani
Dengan mencetak lulusan yang mahir teknologi, berpendidikan tinggi, dan sukses secara finansial di sektor pertanian, Politani Yasanto secara tidak langsung turut mengubah stigma sosial terhadap profesi petani. Lulusan yang sukses menjadi petani milenial dapat menjadi role model yang menarik bagi pemuda desa lainnya untuk memilih karir di sektor agribisnis.
D. Kolaborasi Pentahelix
Politani Yasanto harus aktif menjalin kolaborasi Pentahelix (Pemerintah, Akademisi, Bisnis, Komunitas, dan Media). Melalui kerja sama dengan dunia industri (bisnis), lulusan dapat langsung diserap, atau mendapat akses permodalan untuk memulai usaha sendiri, memastikan bahwa keterampilan yang didapat selama kuliah langsung relevan dengan kebutuhan pasar.
Kesimpulan
Migrasi petani muda ke kota adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam menjadikan pertanian sebagai sektor yang menarik, menguntungkan, dan berkelanjutan. Untuk menjamin ketahanan pangan, krisis regenerasi ini harus diatasi melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi dan perubahan paradigma. Politeknik Pertanian Yasanto (Politani Yasanto) berada di posisi terdepan untuk melakukan transformasi ini. Dengan fokus pada pendidikan vokasi yang berbasis agribisnis dan teknologi, Politani dapat mencetak petani milenial yang modern, inovatif, dan bangga akan profesinya, yang pada akhirnya akan menjadi kekuatan penahan migrasi dan penjamin masa depan pertanian Indonesia.
